Sepak bola Malang memiliki sejarah yang kaya, bukan hanya terpusat pada Arema. Di wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Batu), banyak klub sepak bola yang berpartisipasi dalam berbagai tingkatan kompetisi di Indonesia.
Di Batu, terdapat Persikoba yang saat ini berlaga di Liga 3. Di Kabupaten Malang, Metro FC menjadi salah satu klub yang sering menjadi peluang bagi para pemain sebelum bergabung dengan Arema. Selain itu, ada juga Persema Malang, Sumbersari FC, dan sejumlah klub lainnya.
Persema Malang merupakan salah satu klub tertua di antara yang disebutkan di atas. Didirikan pada tahun 1953, Persema pernah meraih kejayaan pada awal tahun 2000-an. Pada musim 2009/2010, Persema menempati posisi ke-10 dalam klasemen Liga Super Indonesia, namun kemudian terperosok ke divisi bawah.
Jejak sepak bola di Malang sudah terlihat sejak masa kolonial Belanda. Malang memiliki Malangsche Voetbal Bond (MVB), Voetbalbond Malang en Omstreken (VMO), dan Persatoean Sepak Raga Toemapel (PST).
Terdapat pula catatan tentang klub-klub seperti PS Ardjoena yang menjadi bagian dari sejarah sepak bola Malang. Nama-nama ini, bersama dengan PST, mungkin diambil dari nama jalan atau daerah di Malang, seperti Ardjoenastraat dan kawasan Tumapel.
Perkembangan sepak bola di Malang tidak terlepas dari situasi nasional, terutama lahirnya Galatama (Liga Sepakbola Utama) pada tahun 1978. Meskipun Arema tidak ikut serta dalam Galatama pada musim pertama, mereka kemudian bergabung pada musim ke-8, yang berlangsung dari 3 Oktober 1987 hingga 6 April 1988. Pada musim tersebut, Niac Mitra Surabaya menjadi juara dan Nasrul Koto dari Arseto Solo menjadi top skor dengan 16 gol.
Arema, sebagai tim baru, tidak mengecewakan dalam debutnya. Mereka menempati posisi ke-6 dengan raihan 40 poin dalam klasemen.
Prestasi Arema di Galatama mencapai puncaknya pada musim ke-12, pada tahun 1992/1993. Arema berhasil meraih gelar juara, mengumpulkan 45 poin dan unggul empat poin dari Papuk Kaltim yang menempati posisi kedua.
Sebelum mencapai kesuksesan tersebut, proses panjang terjadi di balik lahirnya Arema. Proses ini diuraikan dengan baik dalam buku “Arema Never Die” karya Abdul Munthalib.
Acub Zainal merupakan tokoh kunci di balik pendirian Arema. Ia merupakan penggemar sepak bola yang berperan penting dalam pembentukan klub Perkesa 78 yang berkompetisi di Galatama.
Sam Ikul, nama akrab Lucky Acub Zaenal, juga memainkan peran penting dalam sejarah Arema. Ia, bersama dengan tokoh lain seperti Ovan Tobing, berusaha keras untuk memastikan kelangsungan Arema di kancah sepak bola nasional.
Arema, sejak awal, menghadapi tantangan keuangan. Namun, berkat usaha keras pengurus dan dukungan dari para fans, klub ini terus bertahan. Era kepemimpinan PT Bentoel dianggap sebagai masa sejahtera bagi Arema, di mana manajemen klub berjalan dengan profesional dan pemain mendapat perhatian yang baik.
Namun, era Bentoel berakhir pada tahun 2009 ketika saham PT Bentoel dikuasai oleh British American Tobacco (BAT), yang kemudian mengakhiri dukungan keuangan mereka terhadap Arema. Klub ini kemudian diserahkan kepada sebuah konsorsium, dengan PT Arema Indonesia sebagai pengelola baru.
Dalam kepemimpinan PT Arema Indonesia, klub ini berhasil meraih gelar juara Liga Super Indonesia (ISL) pada tahun 2010 di bawah arahan Robert Alberts. Namun, Arema kemudian terpecah menjadi dua karena dualisme kompetisi antara ISL dan IPL pada tahun 2012.
Hingga saat ini, Arema masih menghadapi dualisme dan perpecahan, dengan satu tim bermain di Liga 1 sebagai Arema FC dan tim lainnya berkompetisi di Liga 3 sebagai Arema Indonesia. Namun, semangat untuk menyatukan kembali klub ini tetap ada, meskipun pada akhir hayatnya, Sam Ikul, sang pendiri, harus menyaksikan klub yang dicintainya terbagi menjadi dua.